close

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

lazada.com

Sabtu, 17 Maret 2012

Selamat Datang era Marketing 3.0


Saat ini kita hidup di dunia yang baru di mana krisis dan chaos menjadi ‘menu makanan’ sehari-hari. Lingkungan bisnis semakin complex, penuh dengan kekacauan.
Di kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kita sudah melihat betapa hebatnya badai-badai dan kekacauan yang terjadi di lingkungan bisnis mulai dari krisis ekonomi di Asia, meledaknya balon dot-com, skandal pelaporan keuangan (contoh Enron dan Worldcom), gerakan teroris, gerakan anti-globalisasi, perubahan iklim, krisis energi, krisis pangan, skandal investasi, sampai resesi perekonomian global tahun 2008.

Di tengah berbagai macam badai dan munculnya Scumbag Millionaire mulai dari Jeffrey Skilling (Enron) sampai Bernard Madoff yang telah menghasilkan 50 triliun dollar AS dari investasi berskema Ponzi (atau skema piramid), langkah bisnis perusahaan terus menjadi sorotan publik. Tingkat kepercayaan diri di internal perusahaan terus menurun. Tingkat kepercayaan publik terhadap perusahaan juga terus menurun. Dan celakanya lagi, teknologi new-wave yang memperluas jaringan media informasi, menjadikan dunia semakin transparan, sehingga sudah semakin susah bagi perusahaan untuk menutup aib dirinya.

Publik membutuhkan aktivitas dan proses bisnis yang didasari oleh prinsip dan nilai-nilai yang lebih etis dan fair. Kini tidak cukup lagi bagi perusahaan untuk searching for excellence, karena di tengah perubahan lanskap seperti sekarang yang menjadi keharusan adalah searching for meaning.
Di tengah badai-badai krisis dan jatuhnya reputasi perusahaan, sudah saatnya bagi pemasar adalah meninjau ulang dan menjual nilai-nilai, prinsip, dan karakter yang dimiliki dan dijunjung-tinggi, agar dapat tampil stand-out dan terus berupaya senantiasa meninggalkan warisan bagi masyarakat.

Marketing 3.0

Di era sekarang, pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning, diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam pemasaran.
Nilai-nilai yang ditebarkan itu diyakini tidak hanya mendongkrak profit tetapi juga menjamin kelanggenan dan penguatan karakter brand, sekaligus membentuk diferensiasi yang tidak tertandingi.

Di dalam buku ”Marketing 3.0: Values-Driven Marketing” Philip Kotler dan saya mengatakan, perusahaan seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.

Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan oleh banyak pemain bisnis.

Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0 ke Marketing 2.0 - dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dikatakan sebagai Marketing 3.0.


Marketing 1.0 (baca : one point “o”), adalah marketing yang berfokus pada produk atau dengan istilah lain disebut “Product-Centric Era”. Dimana kegiatan marketing diarahkan sesuai dengan kemauan produsen. Disini, konsumen sedikit diabaikan dan yang penting adalah bagaimana produsen membuat produk yang bagus dan laku dipasaran.


Marketing 1.0 mengandalkan rational intelligent: Produk bagus, harga terjangkau. Konsumen memilih produk berdasarkan tinggi-rendahnya harga yang ditawarkan produsen. Pada level ini konsumen sangat mudah berpindah.

“any customer can have a car painted any color that he wants so long as it is black”(Henry Ford)

Marketing 2.0 (baca : two point “o”), adalah marketing yang berfokus pada pelanggan, dengan istilah lain disebut “Customer-Centric Era”. Lebih maju dari marketing 1.0, disini kegiatan marketing diarahkan sesuai dengan kemauan pelanggan. Selain produk yang bagus juga memperhatikan aspek keinginan pasar yang ada.

Marketing 2.0 berbasiskan emotional intelligent: Sentuhlah hati customer. Meski suatu produk lebih mahal dibanding yang lain, tapi tetap dipilih konsumen, sebab ia sudah memiliki ikatan emosional dengan produknya.

“The Success of Starbucks demonstrates the fact we have built an emotional connection with our customer….Once they tasted ours and experienced what we call ‘the third place’ – a gathering place between home and work where they where treated with respect – they found we where filling a need they didn’t know they bad”
(Howard Schultz, CEO of Starbucks)

Marketing 3.0 (baca : three point “o”), yaitu marketing yang berfokus pada kemanusiaan, dan disebut dengan “Human-Centric Era”. Kegiatan marketing produk bukan yang utama lagi, karena disini pelaku bisnis justru lebih menonjol aktifitas kemanusiaannya, dengan berbagai kegiatan sosial maupun pelestarian lingkungan hidup.

Marketing 3.0 berdasarkan spiritual intelligent: Lakukan semua dengan Nilai-Nilai Universal seperti kasih dan ketulusan maka profit akan datang. Pada tahap ini, merek telah menjadi “reason for being.” Karena merek itu maka si konsumen diakui keberadaannya.

“She will be remembered not only as a great campaigner but also as a great entrepreneur”
“She campaigned for green issues before it became fashionable to do so and inspired millions to the cause by bringing sustainable products to a mass market”
(BBC News)

“Anita did more than run a successful ethical business : she was a pioneer of the whole concept of ethical and green consumersm”
(Tony Juniper, Director of Friends of the Earth)

“Dame Anita was an ‘incredible woman’ who was passionate about environmental and human rights issues”
(John Sauven, Executive Director of Greenpeace)

Values-driven marketing adalah model untuk Marketing 3.0, yang melekatkan nilai-nilai pada misi dan visi perusahaan. Gagasan ini akan memperbaiki persepsi publik terhadap marketing dan membimbing perusahaan dan pemasar untuk menginkorporasikan visi yang lebih manusiawi dalam memilih tujuan mereka.

Marketing 3.0 ini akan terlihat dari seberapa dalam hubungan hubungan produsen dengan konsumen atau stakeholder-nya. Wujud spiritualisme adalah bagaimana mencintai jejaring stateholder bisnis kita dengan modal dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika sudah sampai tahap spiritual sedemikian itu, hubungan antara perusahaan dengan siapapun yang berkepentingan, apakah itu konsumen, karyawan, supplier, akan langgeng terus.

Marketing 3.0 inilah yang merupakan cikal bakal pemikiran bahwa pada akhirnya marketing menjadi horisontal, di mana sisi humanisme si pemasar membuat pasar menjadi datar. Artinya, tidak ada perbedaan status antara Marketer dan Customer. Marketer dan Customer sama rata. Marketer sudah berbaur dengan Customer-nya.

Three Forces Of New Trend
Ada tiga kekuatan di dalam trend baru ini (marketing 3.0) yang perlu diperhatikan, yaitu :
  1. DIGITALIZATION
  2. GLOBALIZATION
  3. FUTURIZATION
DIGITALIZATION, saat ini kita hidup dalam era teknologi brillian, dimana segala sesuatu dijalankan secara digital dan hanya dengan satu tombol ”klik” saja. Dengan ”BLOGS” kita bisa mengkomunikasikan apa saja termasuk apa yang akan kita jual kepada semua orang diseluruh dunia. Faktanya, ada sekitar 1.2 juta posting blog disetiap harinya atau 50 ribu blog terupdate tiap jamnya.

”We have moved beyond the information Age to the AGE OF PARTICIPATION
(Scott McNealy – Chairman and CEO Sun Microsystem)

GLOBALIZATION, kalau jaman dulu globalisasi identik dengan anggapan dunia yang kecil “Smaller World” dimana kita bisa tahu apapun yang terjadi di belahan bumi lain dengan akses informasi yang begitu terbuka. Maka saat ini globalisasi lebih diartikan sebagai “Flat World” dengan anggapan bahwa setiap individu dengan satu PC, sehingga setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi leader. Faktor yang jelas yang mempengaruhi globalisasi model baru ini adalah “social culture” dan “political legal”.

“The global playing field is being leveled”
(Thomas Fiedman – Author of The World is Flat)

FUTURIZATION, untuk saat ini disamping menjadi “yang berbeda” juga diperlukan kreatifitas yang tinggi. Market, sebagai sasaran dalam bisnis sudah begitu cerdas untuk bisa menilai produk yang kita buat.

“We are beginning to work and live the way creative people like artists and scientists always have”
(Richard Florida – Author of The Rise of Creative Class)

Seperti yang pernah diceritakan kawan saya yang di Australia, ada produsen alat-alat rumah tangga di sana yang tidak menggunakan marketing secara langsung. Di awalnya produsen ini hanya melakukan aktifitas pelestarian lingkungan dengan menanam tanaman & bunga di sepanjang jalan suatu perkotaan.

Yang unik adalah setelah dua tahun, penduduk kota tersebut merasa berhutang kepada produsen tadi, akhirnya di tahun itulah produsen alat-alat rumah tangga tadi baru mendapatkan "nikmat" dari usaha mulianya selama ini karena penduduk kota tersebut menggunakan alat-alat rumah tangga yang diproduksinya. Nah, apa hubungannya coba alat rumah tangga dengan tanaman........


sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Solusi: